Pemilik Kebun
- Kamis, 25 Januari 2024
- Admin
- 0 komentar
Matahari yang terbit dari sebelah timur tanpa mendung mengumumkan kedatangan sebuah pagi yang baru. Semesta alam menghirup angin pagi yang sepoi-sepoi, dan orang-orang mukmin pun melihat keagungan Allah pada makhluknya.
Keagungan tersebut adalah matahari yang terbit dengan sinar keemasannya yang hampir-hampir merenggut pengihatan, setelah sebelumnya pada waktu malam tidak terlihat karena berada di belahan bumi yang lain.
Juga langit yang cerah seolah sedang membanggakan kebiruannya yang tak tercampuri awan; serta suara-suara burung yang memenuhi setiap tempat di kebun seorang Syaikh yang shalih, yaitu Syaikh ‘Abdullah.
Kebun milik Syaikh dipenuhi oleh berbagai kebaikan berupa buah-buahan yang menghiasi ranting-ranting pohon, sehingga kebun Syaikh menjadi seperti salah satu surga Allah di muka bumi.
Oeh karena itulah, penduduk Dharawan menamakan kebun itu dengan sebutan ‘surga’. Sungguh, kebun itu benar-benar telah menjadi salah satu surga, sebab Syaikh yang shalih telah bekerja keras untuk menyemai dan menanam pepohonannya. Dia juga merawat tanaman dan pohon buah-buahan itu hingga pohon itu menghasilkan buahnya pada setiap musim.
Syaikh Shalih tak lain hanyalah seorang mukmin yang mengetahui hak-hak Allah pada harta, buah-buahan, dan tanam-tanamannya. Setiap masa panen tiba, dia selalu mengeluarkan hak Allah berupa zakat dari buah-buahan kebunnya yang seperti surga, sehingga kebunnya itu menjadi berkah dan dengan izin Allah dapat menghasilkan buahnya berlipat-lipat. Orang-orang fakir dan miskin yang ada di kota itu kemudian memakannya, sehngga kebun tersebut menjadi surga bagi orang-orang fakir disana. Mereka dapat bersenang-senang sembari makan hasil buah-buahannya yang baik. Mereka hidup bahagia di ‘surga’ Syaikh shalih, dan dia pun hidup dengan penuh keridhaan atas karunia yang telah Allah berikan kepadanya berupa rizqi yang baik lagi luas.
Disana tidak ada yang mengkhawatirkan atau mencemaskan sang Syaikh dalam kehidupannya, kecuali sikap beberapa anaknya yang sering menentangnya dalam hal zakat dan mengeluarkan shadaqah kepada orang-orang fakir. Namun demikian, Syaikh selalu berharap mereka diberi petunjuk oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketiga orang anak Syaikh ‘Abdullah berkumpul saat ayah mereka sedang berada di luar rumah. Tanda-tanda kemarahan dan ketidak setujuan tampak pada mereka terhadap semua yang dilakukan oleh ayah mereka, setelah dia mengeluarkan zakat tanam-tanaman dan memberikannya kepada orang-orang fakir.
Anak yang sulung berkata: “Apa yang dilakukan oleh ayah kita dengan sedekahh yang di keluarkannya itu?”
Anak yang bungsu berkata: “Memang benar, zakat tanam-tanaman. Namun dia lupa bahwa kita benar-benar akan menjadi orang terkaya di Dharawan jika dia menjual semua hasil buah-buahannya, tanpa memberikan sebagiannya kepada orang-orang yang miskin itu.”
Anak yang pertengahan berkata: “Itu adalah hak Allah atas tanam-tanaman.”
Si bungsu berkata: “Apakah Allah memerintahkan kepada ayah untuk menyia-nyiakan harta dan memberikannya kepada setiap orang yang mengaku dirinya fakir?”
Si sulung berkata: “Atau, barangkali Allah telah memerintahkan kepadanya untuk melupakan kita dari hasil buah-buahan itu?”
Anak yang tengah berkata: “Tidak, bahkan Allahlah yang menumbuhkan buah-buahan ini , sedang kita tidak melakukan apapun, kecuali hanya menanam benih di tanah, kemudian menyiraminya dengan air. Adapun tanam-tanaman itu , sesungguhya Allah memberikan perintah kepadanya sehingga ia menjadi besar, tumbuh, kemudian menjadi pohon setelah sebelumnya menjadi benih, lalu pepohonan itu pun memberikan buahnya dengan perintah Allah.”
Si bungsu berkata: “Ah, itu hanyalah isapan jempol belaka, tidak ada gunanya. Yang jelas, setiap hari kitalah yang menyiraminya dengan air, memelihara dan menjaganya dari hama.”
Anak yang tengah berkata: “Bahkan Allah lah yang menjaganya dari tertimpa api yang akan membakarnya, atau dari hujan yang akan menenggelamkannya, atau bahkan dari hama yang tidak dapat kita lihat atau kita atasi. Apa yang dikeluarkan oleh ayah kita adalah sebagian dari hak Allah dan bukan seluruhnya. Seandainya Allah memerintahkan kita mengeluarkan hak itu seluruhnya, niscaya kita tidak akan kebagian apapun.”
Si sulung berkata: “Kami mengakui terhadap hak Allah, tapi apakah Allah memerintahkan agar ayah kita memeberikannya kepada orang-orang fakir dan miskin?”
Anak yang tengah menjawab: “Ya, sebab Allah telah membarikan kita harta dan buah-buahan, dan Dia menjadikan kita orang-orang yang mendapatkan amanah pada kedua hal itu. Sementara Allah pun menjadikan sebagian orang sebagai orang-orang fakir, agar orang kaya memberikan sebaian hartanya kepada orang yang fakir, sehingga mereka dapat hidup. Jika kita tidak memberikan apa pun kepada orang-orang yang fakir, darimana mereka dan keluarganya akan makan?”
Anak sulung berkata: “Lalu kenapa setiqp orang dari mereka tidak bekerja sendiri dan makan dari hasilnya?”
Anak yang tengah menjawab: “Sebagian mereka bekerja, tapi Allahlah Yang Maha Pemberi rizki. Dia meluaskan rizki kepada sebagian dari kita dan menyempitkannya kepada sebagian yang lain untuk menguji kita, juga untuk mengetahui dengan nyata siapa yang menunaikan hak Allah dan siapa yang tidak menunaikannya.”
Anak yang bungsu berkata: “Kamu seperti ayah kita, dan nampaknya penyakit pada keluarga kita sudah merupakan penyakit keturunan.”
Sekarang anak yang tengah berkata: “ akat kamu anggap sebagai penyakit ? Laa haula wa laa quwwata illa billaah, semoga Allah memberi petunjuk kepada kalian berdua, wahai saudara-saudaraku yang mulia!”
Ketiga orang itu kemudian berpisah. Anak yang tengah pergi mengikuti jejak ayahnya, sementara kedua saudaranya yang lain pergi menjauh dari ayahnya dan menghabiskan malam-malam berikutnya dengan penuh kemarahan dan kejengkelan terhadap ayah dan saudara mereka.
Salah seorang yang fakir datang ke kebun Syaikh ‘Abdullah untuk meminta sejumlah buah-buahan buat anaknya yang sedang sakit dan menangis tiada hentinya karena tidak menemukan sesuatu pun yang dapat di makannya. Syaikh kemudian masuk ke dalam kebun untuk memetik buah-buahan, kemudian memberikan sebagiannya. Setelah itu Syaikh memberikan sejumlah uang kepadanya. Tiba-tiba si fakir berdoa dengan suara keras : ‘ Semoga Allah memberkatimu pada harta dan “surga” mu. Semoga Allah juga memberkatimu, wahai Syaikh yang baik.”
Syaikh kemudian menatap anak-anaknya dan berkata: “Karena doa seperti inilah Allah memberikan keberkahan kepada kita pada kebun dan buah-buahan kita, wahai anak-anakku.”
Hanya saja, anak yang sulung pergi sambil menggigit kedua bibirnya karena marah. Dia berkata: “Bahkan, karena si fakir dan orang-orang seperti inilah kita bakal tidak mendapatkan satu biji buah atau satu dirham pun untuk kita makan.”
Syaikh kemudian marah dan berkata: “Allah tidak akan memberikan keberkahan apapun kepadamu dan saudara-saudaramu selama kamu dalam keadaan sekikir ini.”
Anak yang tengah turut campur tangan untuk menenangkan ayahnya. Dia berkata: “Ayah, sesungguhnya saudaraku tidak bermaksud apapun. Dia hanya bermaksud bahwa ayah sudah mengeluarkan zakat harta dan buah-buahan, sehingga kita tidak perlu mengeluarkan zakat buah-buahan dan harta lagi.”
Syaikh berkata: “Wahai anakku, sesungguhnya sedekah itu dapat memadamkam kemurkaan Allah dan meninggikan derajat orang-orang mukmin di surga. Sesungguhnya Allah akan memberikan untuk satu biji yang di shadaqahkan seratus kebaikan. Jika kita bershdaqah dengan tujuh biji buah, niscaya Allah akan menjadikan pada tiap-tiap biji buah itu pahala seratus biji buah, yakni semuanya menjadi tujuh ratus biji buah, sedangkan satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang serupa. Jadi, jumlah keseluruhannya akan menjadi tujuh ribu kebaikan. Allah akan menambah dan melipatgandakan pahala bagi siapapun yang Dia kehendaki, sebab Allah Maha Pemberi karunia yang agung.”
Anak yang tengah berkata: ”Apalagi pahala untuk orang-orang yang bershadaqah, Ayah?”
Syaikh berkata: “Allah akan memberikan pahala kepadanya yang tidak Dia berikan kepada seorang manusia pun.
Sesungguhnya pada hari kiamat matahari dekat dengan kepala, sehingga manusia membutuhkan naungan dan air karena sangat haus. Mereka tidak akan mendapatkan, selain naungan ‘Arsy Allah.
Diantara tujuh kelompok yang akan Allah masukkan ke dalam naungan-Nya pada hari tiada naungan selain naungan-Nya adalah orang yang mengeluarkan sedekahnya dengan tangan kanannya, kemudian menyembunyikan dari tangan kirinya, sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang di infakkan tangan kanannya.”
Anak yang bungsu berkata dengan nada sinis: “Tapi di dunia kita butuh harta, bukan kebaikan.”
Anak yang tengah menjawab: “Tapi di akhirat kita tidak memerlukan apapun, selain kebaikan, dan akhirat lebih baik dan lebih kekal. Ketika kamu berdiri di hadapan Allah, tidak akan pernah berguna harta dan kekayaan itu, sebab itu akan hilang dan lenyap setelah kematianmu.”
Syaikh ‘Abdullah berkata: “Ketahuilah, bahwa orang yang tidak mengeluarkan zakat harta itu akan Allah jadikan pada hari kiamat kelak sebagai tontonan bagi yang lain, karena Allah akan menyiksanya dengan siksaaan yang pedih. Orang yang tidak mengeluarkan zakat akan dikurung pada hari kiamat dalam sebuah kurungan yang terbuat dari api, hingga Allah selesai dari menghisab semua makhluk-Nya dari Adam ‘Alaihissalam hingga orang yang paling terakhir matinya.
Allah kemudian mengalihkan perhatian-Nya dengan pandangan yang murka kepada orang-orang yang tidak mengeluarkan zakatnya. Setelah itu hartanya akan berubah menjadi kalung api di lehernya, kemudian api membakar harta emas dan perak simpanannya. Selanjutnya, kening, lambung, dan punggungnya akan disetrika dengan api itu.”
Saudara sulung berkata tanpa mendengarkan perkataan ayahnya: “Bahkan aku akan bertobat sebelum mati dan Allah akan mengampuniku. Dengan demikian, aku dapat menikmati harta di dunia dan surga di akhirat.”
Meski ayahnya tidak mendengarkannya, namun Allah dapat mendengar, sebab Dia adalah Dzat Yang Maha Mendengar segala suara. Tiada sesuatu pun yang samar bagi-nya, karena Dia adalah Dzat Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Allah tidak akan menerima tobat orang yang melakukan dosa dan lupa bahwa Allah hanya menerima tobat dari orang-orang yang berniat untuk tobat, bukan orang-orang yang berniat untuk maksiat.
Semuanya kemudian berpisah ketika waktu shalat telah tiba. Ketika Syaikh ‘Abdullah bersujud, dia memanjatkan doanya: “Ya Allah, berilah petunjuk kepada anak-anakku.”
“ Aku berpesan kepada kalian untuk berbuat baik kepada orang-orang fakir dan tidak melupakan zakat hak Allah yang ada pada kebun kita.”
Demikian perkataan Syaikh ‘Abdullah di atas pembaringannya saat sedang sakit keras, sehingga tidak lama kemudian sakitnya ini membawanya kepada kematian. Rupanya Allah menghendaki pria yang baik dan pemilik ‘surga’ itu wafat, beberapa saat sebelum waktu panen tiba .
Ketiga bersaudara itu kemudian kembali setelah mereka memakamkan ayah mereka. Mereka menangisi kematian ayahnya dan bersedih karena berpisah dengannya. Setelah itu masing-masing mereka pulang ke rumah kediamannya masing-masing.
Ketika pagi menyingsing, mereka pergi menuju ke kebun tempat mereka mempersiapkan segala sesuatu untuk musim panen yang sudah dekat waktunya. Mereka mempersiapkan kebun mereka untuk menjemput musim panen ini dengan penuh kebahagiaan karena kebun tersebut memberikan hasil buah-buahan yang berlimpah ruah.
Buah-buahan yang ada di atas pohon itu seperti bintang yang menyinari langit atau lampu yang menghiasi pepohonan. Karunia itu begitu melimpah dan rizki itu sangat banyak, sehingga masing-masing dari mereka melilhat ‘surga’ itu dan mengharapkan seandainya ayah mereka masih hidup, niscaya dia akan turut merasakan kebahagiaan mereka, karena buah-buahan yang begitu banyak.
Ketiga orang itu kembali ke rumah mereka dan pembicaraan itu mulai bergulir diantara mereka.
Anak sulung berkata: “ Atas alasan apa kita harus memberikan harta kita kepada orang-orang fakir.”
Anak yang tengah menjawab: “ Ini adalah hak Allah, dan Dia telah memerintahkan ini kepada kita untuk mengeluarkannya. Demikian juga ayahmu pun telah mewasiatkannya kepadamu sebelum dia meninggal dunia.”
Anak yang bungsu berkata: “Sesungguhnya ayah kita itu bodoh. Dia memberikan buah-buahan dan hartanya kepada orang-orang fakir. Seandainya kita menjual buah-buahan itu, niscaya kita akan menjadi orang paling kaya dan kita pun dapat menyimpan harta yang banyak.”
Anak yang tengah menjawab: “Kamu memaki ayahmu dan menuduhnya bodoh, dan kamu juga melarang zakat?”
Anak sulung berkata: “Janganlah kamu memaki ayah kita. Inilah kesalahan dirimu. Namun kamu benar jika kamu mengatakan bahwa pada tahun ini kita tidak akan memberikan sedikitpun dari buah-buahan itu kepada orang-orang fakir.”
Anak yang tengah berkata : “ Bagaimana ? Bagaimana mungkin kamu melarang sesuatu yang telah Allah perintahkan kepada kita. Apakah kamu telah lupa akan semua hal yang pernah dikatakan tentang hal ini?”
Anak bungsu berkata: “Dia saudara tuamu. Dengarkanlah apa yang dia katakan. Laksanakan apa yang dia perintahkan, kecuali kami pun akan mengharamkanmu mendapatkan buah-buahan ini.”
Anak sulung berkata: “Saudaraku, itu adalah harta kita, sedang ayahmu –semoga Allah merahmatinya- telah mengeluarkan zakat selama bertahun-tahun lamanya. Kita akan menyimpan harta ini dan tidak mengeluarkan zakatnya hanya untuk tahun ini saja. Setelah itu, kita akan mengeluarkan zakat harta ini pada setiap tahunnya.”
Anak yang tengah berkata: “Jangan lakukan itu saudaraku, sebab barang siapa yang tidak memberikan zakat sekali, maka untuk selanjutnya berat baginya untuk mengeluarkannya.”
Anak bungsu berkata: “Zakat, hak Allah, orang-orang fakir. Tinggalkan semua ini marilah kita buat kesepakatan, niscaya kita akan menjadi orang yang kaya raya. Harta dan buah-buahan itu akan menjadi milik kita, sedang orang-orang fakir itu, cukuplah mereka mendapatkan zakat itu di waktu-waktu yang sebelumnya.”
Anak sulung berkata: ”Aku puya ide.”
Anak bungsu bertanya: “Apa itu ?
Anak sulung berkata : “ Kita akan memanen pada malam hari dan kita akan memetik buah-buahan itu sebelum subuh, sebelum orang-orang fakir dan miskin itu masuk ke dalam kebun. Apabila orang-orang fakir itu datang pada pagi hari, mereka tidak akan mendapatkan buah-buahan itu sedikitpun. Mereka kemudian kembali tanpa membawa buah-buahan dan kita dapat melakukan apa yang kita inginkan.”
Anak yang tengah berkata: “Saudaraku, takutlah kamu kepada Allah. Mengapa kalian tidak bertasbih kepada Allah dan memanjatkan puji dan bersyukur kepada-Nya atas kenikmatan yang telah Dia karuniakan kepada kalian dan memohon ampunan kepada-Nya?”
Anak bungsu menjawab: “Kami akan memohon ampunan tapi setelah panen nanti.”
Malam telah menyelimutkan kegelapannya kepada alam, sehingga sebagian manusia tidak dapat melihat sebagian yang lain, karena kegelapan malam yang pekat.
Dari rumah Syaikh ‘Abdullah ketiga orang bersaudara itu pergi secara sembunyi-sembunyi di pagi yang masih gelap karena mereka takut di dengar oleh salah seorang miskin, sebab ayah mereka –semoga Allah merahmatinya- selalu mengundang orang-orang yang fakir pada hari panen dan memberitahukan mereka tentang waktunya.
Karena saudara yang tengah di khawatirkan akan membongkar rahasia itu, maka kedua saudaranya pun memintanya bersumpah dengan mengatasnamakan Allah bahwa hari itu tidak akan ada seorang miskin pun yang menemui mereka.
Hal itu dilakukan oleh kedua orang itu karena mereka tahu bahwa saudaranya yang tengah pasti akan menaati perintah mereka. Dengan demikian, mereka berkeyakinan mampu untuk mencegah agar tidak mengeluarkan zakat. Masing-masing dari mereka dalam perjalanannya menuju ke kebun dibuai oleh khayalan akan mendapatkan harta yang banyak, yang akan masuk ke dalam kas mereka setelah mereka dapat menjual buah-buahan itu. Jika harta itu telah masuk ke dalam kas mereka, maka mereka dapat membeli berbagai barang, kemudian dapat menjualnya lagi, sehingga harta mereka akan bertambah dan semakin bertambah, sampai menjadi seperti gunung layaknya. Dengan harta itu, mereka akan membeli kebun yang banyak, sehingga mereka tidak hanya memiliki sebuah kebun, tetapi seribu kebun. Selanjutnya, orang-orang akan menjadi budak dan pembantu mereka.
Mereka berjalan dengan membawa impiannya masing-masing, hingga mereka sampai di kebun itu. Tiba-tiba mereka menemukan kegelapan yang sangat pekat, hingga salah seorang dari mereka hampir tidak dapat melihat tangannya sendiri.
Saudara sulung kemudian berseru: “Mengapa segelap ini ? Aku tidak dapat melihat pintu kebun.”
Saudara bungsu menjawab: “Aku benar-benar tersesat. Kita tersesat jalan.”
Saudara yang tengah berkata: “Bahkan kita menjadi orang yang tidak mendapat hasil apa-apa. Allah telah mengharamkan kita dari buah-buahan di kebun itu. Tidakkah sekarang kalian melihat lokasi kebun itu telah menjadi tanah yang gosong. Sekarng Allah telah menghukum kita, sehingga ‘surga’ yang ayah kalian telah bersusahpayah disana dan kalian tidak ingin mengeluarkan zakat darinya itu pun terbakar habis dan menjadi arang. Bukankah telah aku katakan kepada kalian bahwa hal itu akan terjadi jika kalian tidak bertasbih dan bersyukur kepada-Nya?
“ Maha Suci Tuhan kita. Sesungguhnya kita adalah orang-orang yang zalim.”
Mereka kemudian saling mencela, kemudian berkata: “Aduhai, celakalah kita. Sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yang melampaui batas lagi zhalim. Mudah-muahan Allah akan memberi pengganti kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada kebun kita ini. Sesungguhnya kita telah bertobat kepada Allah dan sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dari Tuhan kita.”
Namun mereka menyesal pada saat penyesalan tidak lagi berguna dan mengakui dosa setelah datang hukuman. Oh, seandainya saja mereka mengeluarkan zakat harta mereka sebagaimana yang telah Allah perintahkan kepada mereka.
Sumber: Kisah-Kisah dalam Alquran untuk Anak, Dr. Hamid Ahmad Ath-Thahir, Irsyad Baitus Salam.